Ruh Ibadah Yang Hilang

Kamis, 13 Januari 2011

Ruh Ibadah Yang Hilang

Tidruh-ibadahak sebatas memperbaiki gerakan shalat kita saja agar sesuai sunnah Nabi. Namun ruh ibadah shalat dan ibadah kita yang lain pun harus diperhatikan agar ibadah benar-benar memberikan bekas yang cemerlang.

Anda pasti sudah memahami bahwa Allah menciptakan manusia demi tujuan yang mulia dan utama, yaitu beribadah kepada-Nya semata, serta tidak menyekutukan-Nya. Seperti firman Allah “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat:56)

Di sisi lain, Allah tidak butuh pada seluruh makhluknya dan tidak butuh pada ibadah mereka. Secara tegas Allah sebutkan di sebuah hadits qudsi, “Wahai para hambaKu, jikalau orang yang pertama hingga terakhir dari kalian, baik manusia atau jinnya menjadi orang yang paling bertakwa diantara kalian maka yang demikian itu tidak menambah kekuasaanKu sedikit-pun” (Riwayat Muslim)

Manfaat ibadah hanya akan kembali pada orang yang menjalankan ibadah tersebut. Oleh karenanya para ulama mengatakan, “Sesungguhnya bangunan syariat ditegakkan adalah untuk menghasilkan kebaikan bagi para hamba di dunia dan akhirat. “


Tidak ada jalan untuk kebahagiaan manusia kecuali dengan beribadah kepada rabbnya sesuai yang diperintahkan. Ibadah adalah tali kekang yang mengendalikan keliaran jiwa dari tenggelam dalam kubangan nafsu syahwat. Ibadah juga merupakan jalan yang menghalangi manusia dari mendurhakai syariat Allah. Cacat dalam menunaikan ibadah akan membuahkan cacat pula dalam hal-hal yang lain.

Maksud Ibadah yang Terlupa
Maksud terbesar dari ibadah adalah dihasilkannya ketakwaan. Takwa adalah benteng yang menghalangi manusia dari perbuatan maksiat. Allah mengatakan, “
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 21)

Demikian pula ibadah merupakan penggerak bagi jiwa dari terbelenggu pada ikatan bumi sehingga mengangkatnya menuju langit tertinggi dan memancarkan perbuatan-perbuatan kebaikan dengan berbagai ragamnya. Inilah yang Allah informasikan tentang tujuan dari aktivitas shalat, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”


Demikian pula Rasulullah menyebutkan tentang hikmah puasa, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan amalan dusta maka Allah tidak butuh pada aktivitasnya meninggalkan makan dan minum.” (Riwayat Al Bukhari)

Bukan Gerakan Tubuh Saja
Ibadah tidaklah sekadar gerakan lahiriah yang dilakukan oleh anggota tubuh tanpa ada bekas pengaruhnya di dalam batin. Namun maksud ibadah lebih dari itu , yaitu amalan hati berupa penyerahan, ketundukan, kerendahan, kekhusyukan di hadapan Allah. Inilah yang disebut sebagai ruh dan otaknya ibadah. Orang yang menunaikan sebuah ibadah namun hatinya tidak menegakkan tingkatan ubudiyah pada Allah maka seolah ia menunaikan ibadah tersebut hanya sekadar kulitnya saja bukan hakikatnya. Tentang ini Nabi pernah menyebutkan, “Seorang menyelesaikan shalatnya dan dia mendapatkan bagian dari shalatnya Cuma sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapan, sepertujuhnya, seperenamnya, seper limanya, sepertiganya, setengahnya.” (Shahihul Jami 1622)


Kelalaian yang terus menerus, dan lepasnya hati dari posisi ibadah menjadikan ibadah seseorang hanyalah sebatas gerakan badan yang tidak memiliki pengaruh pada hati pemiliknya. Sehingga tidak ada pengaruhnya pula dalam perilakunya. Dalam keadaan seperti ini, ibadah tidak lain hanyalah sebatas kebiasaan belaka. Inilah yang bisa ditafsirkan dan kita lihat dari tingkah laku orang-orang yang menyelesihi syariat Allah dalam muamalah dan akhlak padahal mereka termasuk orang yang shalat dan dekat dengan masjid. Bahkan mungkin termasuk pembaca Al Quran dan orang yang biasa puasa di siang hari. Oleh karena itu ada perbedaan besar antara orang yang shalat tanpa memaknainya, dengan orang yang bila berdiri shalat merasakan bahwa dirinya tengah berdiri di hadapan Allah. Ia menghadirkan niat untuk mendekatkan diri pada Allah azza wa jalla ketika memulai shalat. Ia berdiri menjalankan shalat sementara hatinya tegak dengan ubudiyah kepada Allah, dan hati tersebut merasa luluh dihadapan Al azizul Jabbar. Selanjutnya ia membaca Al Quran, atau membaca dzikir. Lisannya sejalan dengan hatinya. Ketika dia mengatakan “Ihdinash shirathal mustaqiim,” maka dia tengah meminta kepada Allah agar menunjukinya jalan yang lurus. Demikian seterusnya hingga ia selesai dari shalatnya. Bandingkan orang yang demikian ini dengan orang lain yang mengerjakan shalat sementara hatinya berada di tempat yang lain. Al Quran dan dzikir berulang kali terbaca di lisannya namun tiada melintas di akal dan pikirannya. Sudah pasti ini orang yang paling jauh dari firman Allah “Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ di dalam shalatnya..”

Tidak terbatas pada shalat saja, namun berlaku pada seluruh ibadah. Misalnya berdzikir, dan Allah menjanjikan balasan dan pahala besar dalam amalan dzikir. Al Hakim meriwayatkan dari Abu Darda’, Nabi bersabda, “ Maukah kalian aku tunjukkan dengan amalan terbaik dan terjernih di sisi Penguasa kalian, dan paling mengangkat derajat kalian. Lebih baik daripada berinfak emas dan perak, lebih baik daripada kalian bertemu musuh lalu kalian penggal kepala mereka atau mereka memenggal kepala kalian,…” Inilah dia nilai dzikir yang jujur dan balasan besar dari Allah bagi orang yang banyak berdzikir. (abuismail)
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks For Your Comment !! ^^:LC

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...